HARIANSINARPAGI.COM, TANGERANG | Fenomena penolakan terhadap rencana pernikahan Bang Fauzi oleh sekelompok individu yang menyebut diri mereka sebagai Adinda Tertib Senior bukanlah semata-mata ekspresi kultural spontan ataupun bentuk resistensi emosional yang temporer. Ia merepresentasikan dinamika relasional yang kompleks antara seorang figur sentral dan komunitas yang telah lama menggantungkan pertumbuhan psikososialnya pada eksistensi tokoh tersebut.
Pernikahan yang direncanakan berlangsung dalam waktu dekat ini menjadi titik kritis, bahkan bisa disebut titik balik, dalam narasi kolektif komunitas adinda. Dalam pernyataan terbuka yang disampaikan dengan nada santun namun tegas, mereka menyuarakan keberatan atas keputusan tersebut, bukan dari ruang kekecewaan, melainkan dari ruang tanggung jawab afektif yang telah terbangun selama ini.
Bagi mereka, Bang Fauzi bukan hanya pribadi, melainkan institusi moral—sebuah entitas simbolik yang merangkum fungsi bimbingan spiritual, penjagaan emosional, dan keteladanan hidup. Dalam kerangka tersebut, pernikahan tidak hanya dilihat sebagai transformasi personal, melainkan juga sebagai perubahan struktur relasional yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kekosongan fungsional dalam jaringan sosial yang selama ini mereka bentuk bersama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan mereka pun mengandung kesadaran kolektif tentang “tugas kenegaraan” yang belum selesai. Meski diksi tersebut digunakan dalam bingkai metaforis, ia mencerminkan betapa besar harapan yang mereka sematkan pada keberlanjutan peran dan kehadiran Bang Fauzi dalam keseharian mereka—baik sebagai pemberi arahan, penguat moral, maupun tempat berpulang di tengah kegamangan eksistensial.
Jika ditinjau dari perspektif psikologi komunitas, relasi semacam ini mencerminkan terbentuknya affective dependency, sebuah ketergantungan emosional yang muncul dari kelekatan jangka panjang dengan figur ascribed leader—pemimpin yang muncul bukan karena posisi formal, tetapi karena kehadiran dan kontribusi konsisten dalam ruang hidup sehari-hari.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Bang Fauzi. Namun demikian, respons para adinda bukanlah bentuk penolakan yang destruktif. Ia justru merupakan wujud kasih sayang dalam rupa yang paling jujur dan intim: harapan agar tokoh sentral mereka tidak terburu-buru beranjak ke fase kehidupan yang baru, sebelum mereka sendiri benar-benar siap berjalan tanpa tuntunan.
Penolakan ini, jika dibaca lebih dalam, adalah refleksi dari bagaimana transisi personal seseorang bisa memicu gelombang emosional dalam komunitas yang bergantung padanya. Ia menjadi bukti bahwa dalam masyarakat kita, pernikahan tidak selalu bermakna privat, melainkan juga menjadi ruang publik yang membuka kembali diskursus tentang kepemimpinan, keteladanan, dan kesiapan kolektif untuk melepaskan.
Mungkin, dalam surat pernyataan itu, tersembunyi sebuah elegi. Sebuah puisi diam yang lahir dari rasa takut kehilangan tempat pulang. Sebab dalam diam, mereka masih ingin bertanya, “Bang, udah pulang belum?”
Penulis : Red






