ARIANSINARPAGI.COM | Jakarta – Indonesia Police Watch (IPW) mengeluarkan kecaman keras terhadap tindakan intimidasi, teror, hingga pemaksaan tanda tangan surat pernyataan di bawah tekanan yang dialami empat jurnalis Papuanewsonline.com oleh Kasatreskrim Polres Mimika, AKP Rian Oktaria, bersama sejumlah anggotanya.
Insiden yang terjadi sejak Jumat malam (3/10/2025) hingga Sabtu dini hari (4/10/2025) di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, disebut sebagai serangan brutal terhadap kebebasan pers dan hak asasi manusia di Indonesia.
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menilai peristiwa tersebut bukan hanya bentuk penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, tetapi juga mencederai prinsip profesionalisme dan etika Kepolisian Republik Indonesia.
“IPW berharap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera bertindak tegas dengan mencopot Kasatreskrim Mimika AKP Rian Oktaria dan Kapolres Mimika. Keduanya harus disidang melalui Kode Etik Polri, bahkan diproses pidana bersama anggota yang terlibat,” tegas Sugeng dalam keterangan tertulisnya, Rabu (8/10/2025).
Peristiwa bermula ketika penanggung jawab Papuanewsonline.com, Ifo Rahabav, memenuhi panggilan penyidik Polres Mimika untuk pemeriksaan terkait dugaan pencemaran nama baik. Namun, alih-alih menjalani pemeriksaan secara profesional, situasi justru berubah menjadi malam yang penuh intimidasi.
Menurut kesaksian para jurnalis, Kasatreskrim AKP Rian Oktaria sempat mendatangi ruang pemeriksaan dengan nada marah, lalu berteriak di depan dua jurnalis lain yang menunggu:
“Ini malam panjang, lama-lama sa tembak kepala!”
Setelah itu, ancaman berlanjut lewat sambungan telepon. AKP Rian menantang duel sambil memaki: “Anjing kamu di mana, mari kita duel satu lawan satu.” Tak lama berselang, belasan anggota polisi mendatangi kantor redaksi Papuanewsonline.com. Empat jurnalis — Ifo, Zidan, Abimanyu, dan seorang rekan lainnya — dipaksa naik ke mobil berbeda setelah ponsel mereka disita.
Sesampainya di halaman Polres Mimika sekitar pukul 00.00 WIT, mereka kembali diteror dengan ancaman fisik dan verbal. Kasatreskrim bahkan menyebut dirinya “orang Mabes” sambil mengancam:
“Ada parang dan pisau di mobil saya, kalau kalian tidak mau duel, ya kita baku potong!”
Dua jurnalis, Abimanyu dan Zidan, bahkan sempat ditarik ke lapangan dan dipaksa berduel. Sementara makian “anjing” terus dilontarkan di hadapan mereka.
Puncaknya, menjelang subuh, keempat jurnalis dipaksa menandatangani surat pernyataan di atas materai, berisi permintaan maaf dan janji untuk menghapus berita yang dianggap mengkritik Kapolres dan Kasatreskrim Mimika.
IPW menilai tindakan intimidatif tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Peraturan Polri (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
Pasal 19 UU Polri secara tegas menyebut bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, setiap pejabat kepolisian wajib bertindak berdasarkan norma hukum, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sementara dalam Perpol 7 Tahun 2022, disebutkan bahwa pejabat Polri wajib menjaga citra, kredibilitas, dan kehormatan institusi; menjalankan tugas secara profesional dan humanis; serta dilarang bertindak sewenang-wenang.
“Tindakan Kasatreskrim Mimika bukan hanya pelanggaran etik berat, tapi juga pelanggaran pidana dan hak asasi manusia. Polri harus menunjukkan keberpihakannya pada keadilan dan hukum, bukan melindungi pelaku kekerasan terhadap jurnalis,” tegas Sugeng.
IPW mengingatkan kembali komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang sebelumnya telah menegaskan agar seluruh jajaran Polri melindungi kerja jurnalistik di lapangan.
Hal ini juga pernah ditegaskan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, pada Agustus 2025 lalu.
“Kami meminta seluruh jajaran kepolisian untuk melindungi profesi wartawan dan jurnalis yang menjalankan tugas secara objektif dan profesional. Pers adalah bagian penting dari sistem demokrasi,” ujar Trunoyudo kala itu.
Menurut IPW, tindakan aparat di Mimika jelas bertentangan dengan semangat reformasi Polri yang sedang digalakkan oleh Kapolri. Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis bukan hanya merusak citra institusi, tetapi juga memperlemah kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Sebagai lembaga pemantau kinerja kepolisian, IPW mendesak agar kasus ini tidak berhenti di permintaan maaf atau rotasi jabatan semata. Diperlukan langkah nyata berupa pemecatan, proses etik terbuka, dan penegakan hukum pidana terhadap pelaku intimidasi.
IPW juga menyerukan kepada Dewan Pers, Komnas HAM, dan organisasi jurnalis nasional untuk ikut memantau dan memberikan perlindungan hukum bagi para korban.
Kebebasan pers, kata Sugeng, adalah pilar utama demokrasi yang tidak boleh diinjak oleh siapa pun — termasuk aparat yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.
“Kita tidak boleh diam. Jika kekerasan terhadap jurnalis dibiarkan, maka demokrasi akan mati pelan-pelan. Polri harus membuktikan bahwa reformasi bukan hanya slogan, tetapi komitmen nyata untuk menegakkan hukum dan melindungi kebebasan pers,” pungkas Sugeng.
Penulis : Tim Red
Editor : Redaktur






